An Instagram Story i wrote on the treatment of Rohingya refugees became viral on Indonesian social media. I guess I could be quiet and let this die, but I’ll double down instead.
Kritik ke GM dan Ulilnya bisa kuterima tapi kalo kaya gini gimana yak. Mau riset berdekade2 juga ada banyak hal yg ga bisa dijawab dengan pasti (keterbatasan sumber, alat analisis & interpretasi yg belum cukup). Dan attitude kaya gini yg sebenernya bikin dunia akademik toxic.
Dalam esai, meskipun menjengkelkan, saya masih bisa terima. Paling saya anggap penulisnya seorang peragu. Tulisan akademik? Tidak. Kalau masih ragu, riset lagi. Riset, riset dan riset sampai yakin dan tulis. Kalau serba mungkin, ngapain riset?
hamba pernah tukar pendapat sama satu intelektuil N* yg sempet mengeluh soal politik ekspresi LGBTQIA+ yg menurut dia "norak" karena vulgar. respon pertama w adalah mesem & bilang: "yaa orang straight lebih norak ga sih mas dengan festival seksualitasnya (eg wedding expo)" +
"Orba" is not back. It has always been here and there, even before the era we call orba itself; it constantly lurks, finding the right moment, the right person. It goes forward to the present and future, systematizes its body, feeding the corrupted.
eneg bet sama nak har*ard ngeshare artikel jakpost pro omnibusnya, terus bilang "jangan sampai terbawa emosi & tidak lihat RUU secara utuh". yaela ga bisa kurang ngehe lagi apa yak. mana pake kalimatnya "saudara2 kita yg pengangguran" dan "ibu pertiwi". bullshit narrative.
Awal 1900an, perempuan Belanda ngeluh soal pekerja domestiknya yg notabene perempuan kelas bawa Jawa atau Sunda karena suka nyuri makanan di dapur. Tahun 1910an-1930an beberapa perempuan Indonesia elit juga sesekali ngeluh ttg pekerja domestiknya.
Pembantu skrg aneh2 ya, masa gegara ditegur nyokap karena kerjanya gk bener, dia ngancem mo viralin di tiktok supaya gak ada yg mau kerja di rumah gw wkwkwkwk
dari kemarin nonton video Najwa dgn dua menlu & respon²nya, videonya memang kombinasi representative & careerist feminism, pop culture mumblecore, personalized national-global politics & policies. dan hamba ga bisa ga mikir soal produksi & sirkulasi rasa-negara 🤔
Is it wrong to expect a nice, respectful relationship from dating app? I know it's not a good place to begin with but i feel this kind of comment is patronizing. People cope with heartbreak differently, and making a thread on twitter is one way of mitigation.
Pacaran nemu di dating app, kena jebakan rayuan sampe ngeseks terus gegara ditinggalin bikin thread di Twitter. I mean, didn’t you enjoy the hunting process, attention and affection, sex, intimacy, etc? If turned out he’s a player, that’s the risk you gotta be ready to endure.
MSI dan Komunitas Sejarawan Perempuan mengadakan tiga hari webinar tentang Historiografi Sejarah Perempuan. 🥳🥳🥳
Yang tertarik silahkan hadir dengan mendaftar ke email ini ya: komunitassejarawanperempuan
@gmail
.com
sebenernya ruangnya udah ada dan banyak. tapi bisa ga kalo perempuan ngomong nggak dipotong seenak titid, dinyinyirin, dikatain emosional dan irasional. sekedar pengingat, ruang perempuan ngomong bukan dikasih sama laki2 cis tapi direbut, diancurin, dibangun ulang, didekor lagi.
Daftar (mayan) panjang buku dan artikel yang kubaca di studi independen tentang sejarah intelektual Asia Tenggara. Jikalau berkenan marilah. Semoga berguna. 🙏🏽
untuk mahasiswa tingkat akhir dan/atau peminat sejarah belum master, silahkan daftar ya. bacaannya akan intensif bahas pendekatan historiografi & problem analisis "pemikiran"/"perasaan." ga bayar, ada seleksi berkas, ga ada nilai, ada mentoring sistematis membaca & menulis.
wtf is "saking progresifnya"? padahal cuma ekspek kalo kerja ga dapet blackmail & dipecat karena orientasi seksualitas & ekspresi gender. dibuat dengan melangkah tapi kalo langkahnya tetep diskriminatif ya mau melangkah ke mana juga woy. busets dah. ampe berbusa ini gua bacotnya.
@yogach_
Alias, ada orang-orang yang saking progresifnya lupa bahwa progress itu mesti dibuat dengan melangkah, bukan dengan say no terhadap langkah apa pun yang tidak sesuai dengan standarnya.
Indonesian birth certificates puts colonial legal code to categorize the subjects. The gov nullified the rule in 2006 but many, incl me, still get this code. My birth certificate puts me in the category of "Chinese" (Tionghoa) while my spouse (a Javanese Catholic) as "Christian."
Aku sdh lama dengar ttg "kode rahasia" di dok. Tionghoa yg menunjukkan bhw kami Cina. Baru kemarin aku akhirnya tahu kode rahasia itu, krn curhat seseorg di FB ttg beli tanah di DIY. Lalu aku cek aktaku dan iya sm, ada kode itu.
Akta mbak FB Aktaku
Ini opini sok tahu dan sok altruis seakan2 non-biner yg diem ga akan kena kalo yg lain pada diem. Lu kata nahan kedirian di saat yg lain bisa bergembira dengan identitas gendernya itu sehat apa? Yg ada malah seringnya pen diem2 mati aja.
"Tionghoa/Perempuan/Orang Kristen punya kontribusi penting dalam sejarah kebangsaan."
Capek lho baca "alasan" penelitian dan narasi sejarah kek gini. Kalo bukan kelompok dominan kok kayanya mesti diulang2 terus kenapa kita bukan free rider lol sial bet.
Dalam “Attack on Titan”, penghapusan sejarah tak hanya menjebak bangsa Eldia dan Marley dalam konflik, tapi juga mengubur penindasan di masa lalu.
Simak analisis Eunike Setiadarma dari
@NorthwesternU
:
(SPOILER ALERT bagi yang hanya mengikuti animenya)
Jurnal MSI edisi terbaru tentang Historiografi Sejarah Perempuan sudah hadir! Ada tulisan soal Kartinischool, Perwari, analisis multimodal buku teks sejarah, perempuan dan arsip. Juga tulisanku soal Nie Hiang Nio akhirnya muncul di format jurnal hehehe
hamba kok merasa perlu ada penjelasan sosiologis yg lebih menyejarah dan sistematis soal xenophobia, ethnocentrism, & rasismenya masyarakat Indon yak. hari2 ini hamba makin susah paham.
Dari kemarin jengah bet sama thread2 sok superior tentang RKUHP pake narasi kAlEaN eMaNg BaCa DoKuMenNya, eMaNg NgErTi HuKuM. Dan web ini membantu banget supaya bisa kontra-narasi sok pintar manusiya2 ntu.
dari awal emang ga punya ekspektasi ke semua capres. ga ada yg mending. lu kelas menengah pseudoliberal-aslinya-konservatif ngehe kemakan juga kan sama jawaban "aman"nya Anis. that guy can give a better answer if you're not so easy to be trapped in a mediocre textbook answer.
sebuah jawaban (majalah Wanita, Maret 1955)
jujurly, baca hal beginian bikin w demen sama topik riset w. paling nggak di tengah2 mikir bisa ngekek dikit.
Being a bigger person is one thing. Trying to escape and survive from violence and literal death is another thing. If we can pursue politics of respectability, better check what kind of privileges we have so we can stay honorable. Which and whose honores we want to preserve?
ya gitu deh. kurang2inlah ngelihat isu LGBTQIA+ pake pikiran bebal kalo urusan birahi & ngewe ga ada hubungannya sama isu kesejahteraan dan keadilan sosial.
Konflik soal pekerja dan pekerjaan domestik akan ada terus menerus selama kita ga mau mengakui dan kompensasi kalo kerjaan rumah itu berat, makan waktu dan energi fisik, butuh skill, dan yg menurutku paling intens, butuh dikerjakan setiap hari.
Everyday queer people have to explain themselves. When we do right, we have to explain that it's a genuine act; when we do wrong, we have to explain that it's not just bcs our sexual orientation. It's not a battle of victimhood. It's a battle merely just to be exist & stay alive.
napa ya lebih pengen "ngangkat" bacaan anak & komik sebagai "(highbrow) literasi"? kenapa ndak kita "rendahin" aja bacaan sulit jadi cem bacaan pada umumnya yg orang bisa dengan nyaman pick up tanpa mencugai kalo bacaan itu ndakik2?
Normalisasi bacaan anak dan komik sebagai BACAAN sebagai LITERASI alih-alih:
- 'kamu udah gede kok masih baca itu'
atau
- 'buang-buang waktu baca itu coba baca buku berat ini, ini baru literasi'
tolerance is bullshit. apologizing for your religious kind is useless. pandemic crumbles down safe space for religious minority. and yet look how we still tag police as if they could solve the problem when we know it never does. capeknya yaoloh.
Finally decided to post my full essay(ish) on reading Indonesia's history. It's a mixbag of undisciplined comments, Norman Pasaribu's poetry in Tiffany Tsao's translation, and unsettled feelings with several (white) "Indonesianists."
partai buruh sebagai partai baru dengan kapital minim & caleg yg beberapa kali didiscourage konstituen tapi bisa dapet porsi suara segitu tu lumayan banget ga sih? (dengan catatan ga lihat politik elektoral sebagai zero sum game yak).
the problem of Anies' answer is not that it's "not perfect." but his answer, esp on LGBTQIA+ people's access & security to work, confirms how his social policy still perpetuates labor discrimination (now think abt women & pregnancy leave) +
balik ke sini cuma buat ngingetin diri sendiri kalo rasisme & fasisme di Indon adalah struktur sosial, berpikir, & merasa--struktur yg terbangun dalam konteks imperialisme yg menyejarah, terpelihara oleh kemarukan elit & kebebalan kelas menengah Indon. qntl.
gimana caranya menjelaskan sistem berpikir yg liberal modern kagak, kiri juga nggak, berpihak ke masyarakat Adat juga nggak sekaligus anti-imigran, nggak sepenuhnya relijius, nggak sepenuhnya sekuler. pokoknya masy Indon emang ntaplah, kebal kategori2 ilmu sosial 🫠
It doesnt matter whether their relationship has positive lessons or not. Love is never 𝒋𝒖𝒔𝒕 about love. Even a genuine love is not detached from violence.
And seriously though ... are we lack of stories and imagination that we have to learn abt "love" from them? 🥱
Terlepas lo setuju gak setuju cara Pak Harto memimpin Orde Baru. Tapi kisah cinta Ibu Tien dan Pak Harto emang layak disimak, diapresiasi, dijadikan contoh pun boleh, karena banyak hal positif dalam jalin hubungan yg bisa diambil.
Argumen soal insularitas akademik ini basi karena bahasannya ga berubah selama satu dekade. Lebih basi lagi, mempertanyakan kenapa ga ada teoris Indon kayak [sebut nama white indonesianist]. Some of us are doing theory lho, although not in your form.
kita ga bisa mikir kebijakan yg kohesif di bidang kesehatan & buruh tanpa mempertimbangkan itu semua. kalo salah satu diexclude, kebijakannya akan selalu flaw dan diskriminatif. yg perlu dipikirin di pembuatan kebijakan, karena sifatnya bertahap, bukan kelompok rentan mana +
"benci sama penjahat perang valid btw" lmao this is our politics huh? ya ya ya, pas 2021 libtard mamariki juga "pokoknya bukan trump" look what biden does. what a joke.
We dont want to achieve "something great" together, we want our family and friends to stay alive. Powerful people and their delusional goal makes me boiling.
terima kasih untuk respon baiknya.
rekan2 kwir, ini ada statement keberpihakan dari partai buruh yang bisa kita minta akuntabilitasnya supaya agenda anti diskriminasi di ruang kerja baik itu berbasis batas usia, gender dan seksualitas, dan faktor2 lain bisa diajukan.
@tukangmikwir
Tentu saja, tema perjuangan minoritas gender dan seksualitas juga bisa berpartisipasi.
Partai Buruh berkomitmen untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia untuk semua orang, tanpa memandang, suku, adat, rasa, agama, termasuk oritensi seksual seseorang. Kami akan
I'll present an on-going draft of my dissertation's 1st chaper. Still pondering & not sure yet to what extent Berlantian "intimate public" can help me articulate Indonesian print culture. If you wanna join me in thinking & feeling, please do.
reg:
politics is a series of disappointments & disagreements. if we only see it always as a matter of harmonious feel-good hore-hore club, we won't go anywhere. sit with disappointment & failure, make & join in difficult conversations, failing and then try again.
It's a bit awkward announcing milestone but here it is 😬 i've passed all exams and defended my prospectus. sorta ABD now 👉🏽👈🏽👉🏽👈🏽👉🏽👈🏽
Shout out to Bram, Pepe, Day, Anqi, Aoi, Ebi, Ara, Amrina, and Veda for being here and there. 💙
bonus: a teaser (/▽\)♪
ngemeng soal bahasa Indonesia kenapa selalu soal kosa kata yak; padahal menurut hamba seruan ngemeng seluk beluk susun menyusun kata sampe bisa jd makna dan nuansa. tulisan yg bendahara kosa katanya mungkin b aja tapi bisa mainin sintaksis, nada, & suara asik juga lho~~
omongan2 soal pekerja rumah tangga emang nunjukin betapa bangsatnya borjuis2 kecil kelas menengah. lu semua ga ada bedanya sama rang2 Belanda era kolonial yg ngeluh soal "babu" "jongos". dan rasa bersalah lu cuma air mata palsu kalo lu ga support usaha mereka ngesahin UU PRT
yg dapet dulu tapi simpul infrastruktur mana yg mesti dan bisa dibongkar dulu. kerangka mikir objek prioritasnya yg mesti ditimbang, bukan subjek warganya. soal ekspresi politik & identitas, ya itu political means biar didengerin, sekaligus celebrating life
gimana caranya menjelaskan sistem berpikir yg liberal modern kagak, kiri juga nggak, berpihak ke masyarakat Adat juga nggak sekaligus anti-imigran, nggak sepenuhnya relijius, nggak sepenuhnya sekuler. pokoknya masy Indon emang ntaplah, kebal kategori2 ilmu sosial 🫠
Premis sebelum konjungsi "tapi" ini nggak akurat. Kita ga bisa dgn gampang nempelin masalah non-exemplary minority di Indonesia (misal, yg paling dekat denganku, Kristen liberal zionis) ke kategori "Islamofobia" seakan2 ekspresinya punya trajectory kayak white Islamophobia.
Islamofobia tentu ada di Indonesia, dari ekspresi liberal-sekuler yang dikit2 pakai kata “arabisasi” atau sikap tolak dukung Palestina karena wacana telanjur didominasi islam konservatif. Tapi masalah terbesar kita adalah golongan Muslim yg tidak sadar privilese mayoritasnya;
Aku lagi bikin kumcer ala2 yg bisa dibaca gratis dengan kualitas tulisan berbasis "bodo amat." Hari2 ini sedang merasa percaya diri kalau tulisaku bisa nemu pembacanya, meskipun cuma satu orang doang. Kyaaa~ 💚💜🤍
Most people know Kwee Thiam Tjing but not his wife. Using the name "Hoedjin Tjamboek Berdoeri," Nie Hiang Nio wrote some articles for Soeara Publiek in 1925. Ben Anderson doesnt talk much abt her & we need alternative story on Tionghoaness in the 1920s. Nie is our guide.
#IWD2020
ciye ngetweet soal "gak membenci orang." cuma orang2 punya power yg bisa bilang "membiarkan kebencian akan menghabiskan semuanya." maap neh, kak, without hatred and immense anger against oppression we cant love, we cant survive.
sincerely,
someone who hates & loves too much
Aku lagi nulis tentang Kutilang majalah anak2 asuhan S. Rukiah & sebagian besar gambar2 di majalah itu dibuat oleh Bramasto, pelukis kelahiran Malang bernama Bramasto (1939-96). Tapi dari kemarin cari tahu siapa beliau, infonya terbatas di profil insta ini. Adakah yg punya info?
di kelas asuhan hamba ttg sejarah pemikiran politik, hamba pakai buku solid ini untuk bahas sejarah pawang Islam Melayu dan kerja gaib mereka yg berhubungan dgn agrikultur & jejaring ekonomi spiritual
sama kayak rekan2 beragama mengumandangkan doa, eskpresi identitas itu ada elemen harapan & rasa syukur. dan setelah percakapan itu selesai, hamba dysphoria brekdown gila2an dan ga keluar rumah seminggu 🥲 +
So if you want to decolonize SE Asian studies:
1. Abolish visa regime
2. Open the access of already digitized sources
3. Bili/multilingual publications, pay more translators from the region
4. Acknowledge all research assistants down to the administration staffs
Di budaya akademik yg sangat mengagungkan kebenaran, keraguan perlu dikasih tempat. Karena produk penelitian bisa salah, bisa dikoreksi, bisa dikritik, ditambah, direvisi. Ada kok penelitian sejarah kolonialisme berpuluh2 tahun produknya ttp apologetik ke kolonialisme. 🤷🏽♀️
apa sih sejarah pemikiran & perasaan politik? gimana caranya meninjau pemikiran & perasaan sebagai subjek sejarah? yg ingin belajar soal ini, masih ada seminggu ya buat submit aplikasi kelas (ada seleksi berkas).
pertanyaan2 itu nanti akan dibahas pake beberapa bab buku2 ini:
untuk mahasiswa tingkat akhir dan/atau peminat sejarah belum master, silahkan daftar ya. bacaannya akan intensif bahas pendekatan historiografi & problem analisis "pemikiran"/"perasaan." ga bayar, ada seleksi berkas, ga ada nilai, ada mentoring sistematis membaca & menulis.
Women and transwomen as sex workers. In the alt caption on the fourth photo, I explain why I use transwomen and not men to identify the people in the photos.
It was published in Star Magazine (Feb 1939). The source was available here:
Intervensi empiris dan teoretis bukan panacea, dia spesifik ke satu hal kecil dalam tubuh pengetahuan yg sangat besar. Kalo ragu ya tinggal mengakui keraguannya. Mengakui limitnya di mana. "Riset lagi dan lagi" itu menurutku cuma mempertahankan ego otoritas akademik.
Yang di Jogja atau yang bisa ke Jogja tanggal 20 Januari ini, daftar yuk! Kita akan ngobrol sambil ngolah materi tentang kerja domestik dan rawat-merawat di duniya seni dan sehari2. Info lebih lanjut di link ini ya. Sebarkan!
catatan pribadi soal menjadi tenang di tengah ketakutan:
circa sept 2017 waktu ada serangan massa antikomunis di kantor LBH, hamba ada di antara orang² yg disuruh naik ke lt 2 karena itu tempat yg agak aman, wlopun ada batu² yg dilempar ke kaca. +
that list of sastra masuk kurikulum is good it makes me wanna be a highschool indon language teacher embodying the stereotypical movie character of english teacher, spitting out quotes out of context & being "inspiring." lemme tell you kid abt what hikayat kadirun is and isnt.
Indonesian DPR is a pure, fucking relentless evil. The excellencies of huge prick. Bunches of jerk, rotten people. The lords of useless pile of shit. They should go down to the deepest hell.
Terima kasih sudah share ini. Permasalahan rasisme terhadap Chindo memang punya dimensi struktural & sistemik maka itu reverse racism (Chindo terhadap yg lain) tidak berlaku dalam konteks ini. Tapi aku menghargai perlunya kritik internal di dalam tubuh komunitas.
Problem ekopol dan rasialisme bukan telur atau ayam. Dengan pakai kata "mulanya" kayanya kok mengasumsikan ada transisi linear dari ekopol berkontraksi ke isu ras. Dua2nya beriringan. Bedanya kolonialisme Belanda dgn kolonialisme trans-Atlantik itu proses institusionalismenya.
Apakah kolonialisme itu soal ekonomi-politik atau juga mencakup soal rasialisme?Saya pernah mengulas ini: Ya, kolonialisme mulanya adalah problem ekopol. Tapi praktiknya juga melibatkan masalah rasial.
Disclaimer : ini soal kolonialisme Belanda ya...
Dan di balik sorot diskursus influenshit yang menjemukan, ada orang2 yang persisten mendampingi korban dan keluarga, menjalani jalur advokasi yang panjang juga melelahkan, melakukan kerja2 caring tiap hari yang mungkin sering tidak dapat lampu sorot. semoga mereka kuat selalu.
A short note about intellectual history and "ideas from the everyday". Also, sharing a section from my second-year paper about Ki Hajar and Nyi Hajar Dewantara and how their life and ideas enmeshed. Still need to think a lot about writing history tho. 🫠
pursuing justice & liberation bukan cuma masalah pilihan personal ga sih (you're in or out the movement)? kalo pun sekarang bisa "milih" ga peduli, kapasitas itu ada karena serangkaian gerakan di masa lalu memungkinkan kita punya opsi itu.
@agniasambara
Gue ngga transfobik tapi ngga peduli sama gerakan LGBT or “actualization” karena buat gue sendiri I’m already happy with my way of living. Unless outcomenya bakal definitely better FOR ME, RIGHT NOW (not the generations after me) I’d rather live in status quo.
queer and feminist reading is not anachronistic, and you don't have to be a historian to know that. so i'm re-sharing my thought on Chairil Anwar's poems and the source of their masculinity. imperfect writing but a confident one.
Enter your thesis into this AI art generator. This is really trippy stuff. I did my books:
[1] The Caliph and the Heretic
[2] Crucifixion and Death as Spectacle
reading this article several times and still not sure what it is exactly. that envy. that "mendjauhi teman-temanku laki-laki" and "timbul rasa tjintaku pada kaum wanita." and no right to be "bertjajad muka."
source: Wanita, Nov 1952
trivia
jadi, awal tahun 1932, majalah Pedoman Istri (edisi nomor 2) naruh iklan produk namanya bir itam, yang copywriting-nya menyentuh isu menyusui & posisi iklannya emang kayak kolom tips dan trik merawat bayi yg sering muncul di majalah perempuan
Queer is a set of mind embodied in our everyday lives. Akadememek can say whatever they want, bacot as if they are the most progressive people in the fucking universe, and still have no empathy to their community. If you happen to read their words, be angry.
Aku setuju ini masalah struktural tapi jujur aja ga sih, menulis itu susah banget. Aku pribadi selalu gemeteran tiap mau nulis. Mangkanya ada sekolah ya buat belajar baca & tulis.
@EXCOPARTAIBURUH
terima kasih undangannya. apakah tema perjuangan minoritas gender dan seksualitas juga bisa berpartisipasi, mengingat rekan2 LGBTQIA+ pun banyak yg buruh & pekerja?
"Kemanusiaan yang adil dan beradab"
"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" Keadilan. Sosial. SOCIAL JUSTICE. Negara lu mendaku social justice champion. SJW. fuck you
@jvouska
Gampangnya karena ideologi di Indonesia itu pancasila. Ideologi yang berseberangan, misalnya liberal, mana boleh di Indo. Lagian woke juga banyak yang fasis. Kalo seluruh dunia harus ikut aturan mereka untuk gerakan woke, apalagi kalo bukan fasis.
Hamba akan membacot secuil tulisan ttg sejarah tulisan2 di abad 20 yg ngomongin soal hubungan orang2 di rumah, dan apa sih pikiran/perasaan yg sedang penulis/pembaca munculkan ketika mereka membicarakan rumah. Hadirilah!
"Orba" is not back. It has always been here and there, even before the era we call orba itself; it constantly lurks, finding the right moment, the right person. It goes forward to the present and future, systematizes its body, feeding the corrupted.
Temanku ada yg berinisiatif mengumpulkan panduan pandemi. Silahkan cek foldernya kalau ada yang butuh ya. Akan diupdate juga kalau ada sumber-sumber tambahan.
Kejadian2 janggal di thread itu, kek cerita tetiba pekerja rumahnya bawa kopi ke kamar mandi, ya memang janggal karena kerja domestik itu, paling ga dari pembacaan sejarah dan pengalaman pribadi w ya, sulit dibikin boundariesnya.
Yang sifatnya teknis praktis ga lepas dari unsur2 keintiman yg mana seringkali mengarah ke hal2 sensual dan seksual. Cerita2 soal Nyai atau memoar tentang "babu" atau plot "Inem pelayan seksi" ya sebenernya muncul dari problem kerja domestik dan kerja care
utas asik soal penerjemahan. sebagai pembaca, aku ngerasa, selain soal relevansi budaya, ya bener, soal interpretasi penerjemah. Di terjemahan Ulan, adu mulut bibi/ponakan tampil dalam nada agak humoris; sedangkan terjemahan Barton fokus di membangun ritme suasana tegang. +
Gara2 ngobrol bareng Mbak
@yayoimusume
jadi ubrak-abrik berkas Where the Wild Ladies are.
Monggo, tiga bahasa.
Kenapa yang bahasa Inggris begitu? Ya karena tidak relevan sama mereka.
Tapi kita? Anak Jakarta dan daerah punya gap. logat daerah pake gue-elo ya diketawain bude.
penulis diaspora AsAm blunder soal Palestina emang ngingetin kita semua untuk membunuh berhala budaya dalam rupa tokoh. klo kerjaan kita ngebeo akademek/penulis (apalagi cuma pake imbuhan "wowkerenbetjeniuswow") tp ga mau ikut mikir ya terus2an aja jd hamba berhala.
sebelum pengumuman booker, aku bilang ke norman dan tiff kalo aku nulis paper historiografi sejarah Indon yang bentuknya hybrid: mixing catatan akademik, puisi Norman, dan pengalamanku as a queer Chindo studying history.
Saya menulis ttg Siti Nuraini, sajak2nya yang sulit, keengganan saya membaca sajaknya sebagai "warisan seorang ibu," kesemrawutan kepala, & kedirian yg asing. Silahkan dibaca ya kalau kurang kerjaan, nanti kita bicara ttg Nuraini lagi.
Reading needs patient & the will to listen and pay attention to other people's voices, to understand where they (and we) come from. In "critical" reading, there are empathy & humbleness.
Hihihihi. Jumat malam kemarin waktu aku cerita soal sejarah koran yang katanya progresif, aku bilang hal yang sama. "Jangan percaya sama orang yang menganggap dirinya progresif." Karena klaim itu sering kali datang bersamaan dengan proses mempertahankan hirarki.
Kartini Day is a day to celebrate a teenage girl who wanted to go to school. She expressed anger and joy, frustration and relief, desperation and hope. She was first a girl, not a hero.
To coincide with Indonesia’s Kartini Day, two edited volumes of her writings and letters are now available for digital open access. Both are edited and translated by the leading scholar of her work, Joost Coté.
#kartiniday
@MonashPub
@OhioUnivPress
does that make us optimistic? aspirational? trust in merit-based? thinking abt the possibility of navigating patriarchal and misogynistic space, while we scream to anonymous incel accounts condemning porn-revenge and actual femicide?