Buat yang gak pernah ngerasain gas air mata: setiap tarikan nafas rasanya kayak snorting bon cabe langsung dari botol. Dinding paru-paru dan saluran pernafasan lo dilumurin zat capcaisin. Rasa sakitnya cukup buat bikin pingsan.
Sekarang bayangin 5000 orang menderita kayak gini di saat bersamaan. Orang-orang saling sikut di lorong keluar stadion yang cuma muat lima orang dijejer horizontal, nggak bisa mikir apa-apa lagi selain merintahin tubuh buat cari jalan keluar.
Banyak banget takeaway dari 4 jam ikut aksi depan DPR hari ini. Tapi temuan yang paling kengiang-ngiang adalah: budaya aksi massa mahasiswa kita inherently patriarkis.
Sepanjang gelombang kedua, banyak wartawan mendaku "turun langsung" dengan lurking di fasilitas kesehatan. Ini saja tentu sudah riskan, tapi banyak dari urban poor yang meninggal tanpa sempat melaporkan diri. Buat saya, ini reportase terbaik, by a mile:
The fact that you can still see Gojek on videotrons in Indonesia 2120 (which turns out to be an Anarcho-Capitalist, cyberpunk society rife with vigilantism) actually suggests that Gojek is the said evil company in charge.
Malem perdana di LSE Palestine camp (yes, it's indoors). Nga boleh foto banyak esp. muka orang lain. Nyapa satu sama lain strictly pakai codenames bcs the walls have ears. Di samping camp ada makeshift prayer room buat shalat.
Habis baca soal oligarki sampai semaput seminggu belakangan, tapi mendadak dapat insight soal pasukan buzzer: pada dasarnya, fungsi mereka adalah membuat kesan bahwa semua orang bisa mengakses insight di Ring I pemerintahan.
Fungsi laten any scholarship (tapi ironically justru outcome yang paling bisa guaranteed) itu reproduksi elite class. Yang sebenarnya bikin pissed off adalah ROI dari scholarship itu widely tujuannya untuk promoting social equality, VIA producing social inequality.
Pelajaran
#ReformasiDikorupsi
yang paling penting: pas 2019 gerakannya gembos karena NGOs going back to business as usual habis massa mahasiswa ditangkep-tangkepin dan tuntutannya gagal. Jaga animo pasca unjuk rasa is make-or-break. Negara juga sebulan sekali bakal blunder kok.
Saya dan Teguh menulis ini sewaktu dia positif sementara saya suspect. Selama pengerjaannya dapat kabar seorang kawan lama berpulang; empat hari kemudian, ayahnya; tiga hari berselang, ibunya. Tentu tidak tampak, tapi artikel ini dikerjakan dalam amarah.
Di Sumatera, banyak petani kecil ditipu memberi tanah hutan produksi yang tidak boleh digarap. Mereka akhirnya belajar agroforestri (budidaya tanaman komoditi di sela-sela tanaman hutan asli), dan menjadi garda terdepan dalam memadamkan karhutla.
Rekor di tahun 2022: anjloknya peminat buku-buku KIRI & FEMINIS. Hal itu terlihat dari penjualan buku bertema trsbut yg turun drastis.
Kondisi itu selaras dng menurunnya gerakan kaum muda dalam melawan RKUHP misalnya. Di tahun 2019, perlawanan begitu besar, skrang cndrung kecil.
@ichwankalimasad
Apa sikap politik orang tua Manik gak otomatis sama sikap pribadinya. Dan lo udah ngebuka data keluarga tanpa izin pula.
I'm reporting this post.
Gue nangkep logic buat melindungi perempuan dari potensi kekerasan waktu aksi. Tapi di sisi lain, budaya protes kita belum menemukan bentuk yang inklusif buat perempuan untuk ikut serta. Mungkin ini berarti kita perlu cari bentuk eskalasi yang nggak physical.
@thottiewitch
Satu hal lagi, dan ini kayaknya poin paling penting. Mempertimbangkan bahwa banyak pasal RKUHP yang secara spesifik mengancam perempuan, urgensi keterlibatan perempuan di aksi hari-hari kedepan bakal jadi jauh, jauh lebih signifikan.
Barangkali cerita paling epic minggu ini. Bu Yani, pekerja domestik di Singapura dituduh mencuri dari majikannya (yang notabene Chairman Changi Airport Group) dan terbukti tidak bersalah di High Court setelah menjalani perang di ruang sidang selama 3 1/2 tahun.
Good afternoon!
Weโre here today to bring you the story of Indonesian national, Parti Liyani, who was arrested in 2016 and accused of stealing S$34,000 worth of items from the family of Liew Mun Leong (the Chairman of Changi Airport Group) in Singapore.
(Photo: HOME)
IMO Rohingya adalah batu sandungan untuk Indonesia Emas 2045
๐๐ผ๐๐ผ๐๐ผ
โ Kalau alasan kemanusiaan, mengapa Indonesia saja? Singapura juga punya pulau Ubin & pulau Tekong. Bagi2 lahโฆ
โ APBN akan terbeban dengan kelayakan hidup pengungsi
โ Masyarakat Indonesia harus bersaing
Esai Aktivisme Borjuis di Project Multatuli ditulis dengan buruk. Tone-deaf mampus. Tapi problem besar gerakan ya orang yang kayak gini, fetishising perlawanan dan aksi massa tapi nolak mikir how to make the best of it.
TLDR: you *are* responsible for the younger generation.
Saya nulis soal
#ReformasiDikorupsi
dan kegelisahan kolektif yang saya sering dengar sehabis protest wave Oktober 2020: kalau nanti ada RUU ngawur muncul lagi (contoh: pengesahan revisi RKUHP), kita mau ngapain? Bisa apa?
Hari ini terbit di
@jacobinmag
.
Bahaya utama dari politik moral itu bukan negara jadi "makin otoriter", tapi bahwa negara mendelegasikan fungsi kekerasan ke masyarakat: semua orang nggak cuma bisa bakar maling ayam atau ngarak pasangan zina, tapi jadi cepu (ngelaporin penghinaan ke Presiden, ulama, dsb.)
Perbincangan soal komunitas Tionghoa Indonesia paling cuma seputar Indonesia Barat. Tapi di Pulau Aru, Maluku, musafir Cina sudah bertahun-tahun menikah dengan orang lokal dan membentuk identitas kesukuan baru. Saya menerjemahkan artikel apik
@ianjmorse
:
Gak ada yang mau bikin riset antrop yang luar biasa serius buat ini ya? Ngobrol sama orang-orang protokoler di Kementerian, mungkin? Berapa persen waktu hidup ASN dihabisin buat menghadiri hal-hal kayak gini? Siapa aja yang hidupnya bergantung dari seremoni macam ini?
Video viral acara pelepasan vaksin oleh Biofarma memicu kritikan. Hobi pejabat Indonesia bikin seremoni mengirim pesan penting: social distancing cuma omong kosong!
Sejumlah gereja di Singkil, provinsi Aceh, habis dibakar massa pada 2015 dengan dalih klasik: minim perizinan. Buruknya, upaya mereka mendirikan gereja baru kini tersandung sistem diskriminatif yang dulunya dirancang Wapres Ma'aruf Amin.
Gak semua elemen Partai Buruh itu progresif kok. Tapi ada yang bisa dipegang, dituntut kalau slip-up atau mulai macem-macem. Power strugglenya transparan and you know which forces to root. Kalau elemen progresifnya terbukti lebih sukses partainya as a whole mau gak mau ikut arus.
Ini serius banyak yang mau milih Partai Buruh yang mengajukan ketua Kadin penyusun omnibus yang juga pemilik konsesi besar lahan IKN sebagai cawapres gini?
Sehat?
Utopia sosialisme macam apa yang dibangun dengan dua-tiga orang dapat paycheck sementara satu gerombolan lainnya dapat pengalaman doang? Masih inget hal super dasar yang namanya Surplus Value gak sih?
Yang menolak kerja-kerja nirbayar silakan pelihara skill dan talentamu, tentukan hargamu di pasar bebas yang kapitalistik ini. Tapi kalau ada yang ingin jalan dengan utopia sosialismenya, solidaritas daripada uang, mohon anda tenggang rasa. Ngomong2, ada job manggung gak nih?
"Generally I find men are a lot more concerned with limiting the freedoms of women than exercising personal freedom for themselves. I mean, they control the whole social system and this is the best they can come of up with for themselves?" - Sally Rooney, Normal People (2018)
Liberals like to "Kalau ngikutin logika aja, mana ada pengusaha yang mau rugi karena maternity leave 6 bulan" and then "harus dipahami Negara kita belum kayak Finlandia dimana pengusaha bisa patuh aturan, nanti perempuan malah jadi korban PHK" dalam satu tarikan nafas
Buat sy, ini respons paling masuk akal sejauh ini soal kenapa aktivisme kita babak-belur di belantara sinisisme "The Revolution will not be TikTok-ized", shaming aktivis ngab jarang mandi, serta kiat-kiat NGO-hopping yang baik dan bernas.
Kudos buat organizersnya super gercep, super meticulous to make a camp run smoothly. Setiap hari rapat minimal dua kali, makanan selalu ada, but also various leisure stuff (board games, alat lukis, perpustakaan repositori pengetahuan Palestine dari buku sumbangan Verso etc.)
Amateur porn yang bocor (berarti non-konsensual, ya) itu banyak banget. Nggak semuanya jadi berita, apalagi masuk ranah hukum. Semuanya tergantung seberapa jauh kasusnya bisa dikomodifikasi. Saya nulis soal kasus serupa tiga tahun lalu:
Berdasarkan pengamatan, cuma ada satu perempuan di pusat aksi pas chaos tadi:
@thottiewitch
. Kerjaannya neriakin semua provokator, neriakin orang nyuruh mundur. Dan lucunya, semua orang kaget karena denger perempuan teriak-teriak. "Cewek woy, cewek." Haha.
Jam 6 sore, massa perempuan balik ke bis. Komandan aksi, yang laki-laki, teriak ke massa: "Perempuan nurut! Perempuan nurut! Balik."
Jam 7 malam, rasio peserta aksi perempuan banding laki-laki mungkin (mungkin, ya) satu banding seratus.
Kualitas terjemahannya ampas (ada yang bagus, tapi tertimbun sama standar rata-rata), banyak kumpulan esai orisinil yang dipasarkan sebagai hal cendekia (padahal nggak), sementara sisanya buku pengantar akademik yang ditulis dengan harapan dibeli sebagai bacaan wajib.
Ini masih bisa dibantah, kok. Yang lumayan menyedihkan itu kalau menurunnya pembelian buku progresif diatribusikan sebagai kemunduran moral (bocah-bocah sekarang individualistis!) ketimbang jadi cermin buat ekosistemnya. Toh katanya mengimani historical materialism?
Orang dengan pendapatan fluktuatif 1.5 Juta per bulan disuruh bayar tes antigen 150-200k, di saat penghasilan mereka cekak total gara-gara PMKM. Jangankan vaksin berbayar buat meraup untung dari kelas menengah; skema ini jauh lebih brengsek (pun efektif menahan angka pelaporan).
Karena thread ini mantul lagi, w cuma mau nyaranin kalau kerangkanya mungkin lebih seru kalau digeser dari Foucault ke Bourdieu. Fungsi obvious IISMA itu reproduksi calon elite. Lo gak perlu internalisasi nilai selama currency social/cultural capitalnya muter terus.
Tapi chaos kadang-kadang memang gak terhindarkan. Bedanya adalah bagaimana chaos jadi tujuan aksi, dan perempuan jadi gak bisa gabung gara-gara hasrat untuk chaos itu.
(Tentu ada argumen bahwa perempuan boleh ikut chaos. I agree with this. Then again, the korlap didn't)
@shntaism
@ichwankalimasad
Just because some information is accesible does not mean it is relevant to the public. Politik itu masalah publik, dan lo udah nyeret urusan privat orang ke ranah publik itu. That's misleading AND a harrasment.
@thottiewitch
Tapi dari segi mobilisasi massa, aksi tadi sukses banget. Senang ada potensi pembelajaran politik buat anak muda. Sekarang tinggal gimana caranya pembelajaran ini bisa sukses. There's a lot of unlearning to do, I guess.
Proyek paling intens bulan lalu: nerjemahin artikel soal kehidupan anak-anak muda Timor Leste yang lahir setelah kemerdekaan dari Indonesia, dan bagaimana mereka membayangkan masa lalu kolonial dari cerita-cerita orang tua.
"Masses" ini bukan berarti banyak-banyakan peserta aksi doang, tapi connecting social groups. Mahasiswa harus diajak belajar sama gerakan buruh, kelompok literasi ngobrol sama masyarakat yang kena Proyek Strategis Nasional, dsb. Gak boleh insulated lagi. Siloes really fuck us up.
Provokasi untuk ngerobohin pagar, misalnya, mulai muncul (dan berhasil) setelah hampir gak ada perempuan lagi di pusat aksi. Semuanya cowok.
Mungkin karena gak ada perempuan lagi, jadinya dianggap layak buat chaos.
A lot of brainfart arguments have been made about terrorism these days (yes, they're fellow humans, but that does not explain why they acted so horribly; no, choking them with a microphone in interviews does not help either).
Do read:
To this I would add: this is about power consolidation, but one that seeks to do so by appeasing to Islamist factions. There is a clear conservative bias, but it's basically the result of horse-trading policies.
To those thinking the new Criminal Code is abt "rising conservatism",q the victory of Islamists, you're wrong. This is about power consolidation, where politicians fr different factions band together, set aside differences, make compromises, to lay siege against their own people.
Alasan orang ikut aksi bisa banyak: modus, cari adrenalin, bikin konten, bosen di rumah, buat ketemu temen setelah kuliah jadi online...ini semua gak salah. Pengen gaya-gayaan dan merasa keren harusnya nggak membuat seseorang jadi pendemo kelas dua.
Dengan jadi lebih inklusif sama keterlibatan perempuan di aksi massa, kita bisa mencari bentuk ekspresi kolektif baru juga. Mungkin (sekali lagi, mungkin) kita gak gerak-gerak dari ekspresi romantik 98 yang kalau dilihat, penuh dengan laki-laki juga.
You know what? We should actually show gratitude to one another for doing the bare minimum, all the time. It's called a positive feedback loop. Sneakily moving the bar up from this point is also way easier.
@sabiellar
Temuan berikut hasil ngobrol sama banyak massa aksi: banyak yang pemahaman isunya masih sangat surface level. Jadi ada problem distribusi pengetahuan.
Banyak pekerja NGO yang aku ajak ngobrol frustrasi karena organisasinya terlalu kaku, ego sektoralnya gede, dan senior alumni 1998 don't have the guts buat ngelawan pemerintah karena kedekatan personal. Ujung-ujungnya gak ada yang ngambil tugas organising the masses.
Benedict Anderson in Imagined Communities (2006) explaining how West Papua became part of Indonesia through the inherited imagination of colonial mapping:
Hasil ngobrol malam ini: might be a good idea buat mantau progres RUU Ketahanan Keluarga dan/atau pasal-pasal anti-perzinahan dan mengkriminalisasi minoritas seksual di RKUHP. The regime is gearing towards stability, and this could mean aiming to cater to different constituents.
Akhirnya terbit. Saya dengan rekan ciamik Fadiyah menulis soal krisis komunikasi Indonesia di periode awal COVID-19: dari protokol Komunikasi Publik KSP, kebingungan wartawan daerah mencari informasi, serta simbiosis mutualisme demagog dan media daring.
Yeah man until you realize that some of us have a harder time evaluating ourselves because we don't have the proper enabling conditions because we're fucking sick.
Tldr: kalau mental illnessnya membuat lo sulit evaluasi dengan rasional gimana?
Gak usah mental montal health dulu. Mungkin elu terpuruk karena elu gak punya skill, gak mau berusaha untuk bersosialisasi dan berkomunikasi yg baik dengan orang, self centered, berasa yg punya masalah hidup elu aja dan tidak mau evaluasi diri.
@BanyuSadewa
@fxmario
Kl baca dari atas ke bawah, keliatan dia lg curcol kl dia influencer dg bayaran kecil. Berarti ini merasa entitled utk dibayar selevel Awkarin/Atta.
Mmg penting utk bisa refleksi diri dan blg "SIAPA GUE???" supaya sadar diri. Beb rate gw juga gak 80 jet sih ๐คฃ
Military fandom is obscenely weird. It's rarely about the violence and killings per se rather than the aesthetic side of arms, tactics, and camaraderie. No one claims they're cheering to "bury people under building rubble" but [whoa!] look at that missile go so smooth
Oh, don't forget revisi UU Otsus Papua (the West Papua political movement is miles away ahead of us, and they still struggle). And the new Omnibus Law on Education that's being brewed in the cauldron of "kebutuhan industri". This isn't over. It's gonna get worse.
Imajinasi politik kita memang dangkal kok, tapi ini berlaku ke semua orang tanpa kecuali. It's a collective malaise that can only be figured out together. This shouldn't be a controversial statement whatsoever.
@tukangmikwir
Lu ga jawab pertanyaan. Sinisme di twit permulaan adalah "dangkalnya imajinasi politik".
Sekarang apa imajinasi politik yg ga dangkal dg kondisi pemilihan di depan mata? Kita ga bahas next pemilu atau Pilkada 2024, ya. Konteks asal bukan Prabowo ini untuk pemilu di depan mata
This contradiction is getting exposed now, and for a good reason. The one thing IMF bros or Stafsus Presiden wants to do is have their cake and eat them too: that them being elites amounts to a collective benefit. This *could* be true, but wow you'll look bad dying on that hill.
POV leluhur kamu kecipratan oil boom 1970; keluargamu frozen in time dalam sense Orang Kaya Baru, 50 tahun berselang + tiga generasi sehabisnya. Ini artefak yang tersisa.
@thottiewitch
Pertimbangan redaksional dari
@thottiewitch
: perbandingan massa perempuan banding laki-laki setelah jam 8 malam bisa jadi 1 banding 500. Iya, sebanyak ini.
"Ya terus harus gimana" Who the hell knows. All we know is that they keep getting away with it. Truth is kita nggak punya wager yang cukup kuat. Bangun aliansi dan gerakan butuh waktu, sementara pasal tinggal ditulis langsung jadi. Rate akselerasinya gak bakal pernah kekejar.
Ini kayaknya yang aneh tiap kita ngomong "Negara ngurusin urusan privat". Nggak, Negara ngasih restu orang lain ngurusin urusan privat lo. The state has no stakes whatsoever in your selangkangan. To paraphrase Natasha Lennard: there is nothing revolutionary in your lovemaking.
@Dandhy_Laksono
Kebutuhan gadget murah > problem ekologis dan kekerasan terhadap masyarakat adat yang disebabkan industri sawit. Kalau ada yang belum paham, ini namanya bias kelas :)
Bisa aja mulai sekarang "Lanin" jadi istilah nggak resmi buat orang yang obsesif sama formalitas bahasa ("lo Lanin banget sih elah"), terus tanggapan ybs ("saya nggak suka sama pemanfaatan istilah itu") kita bikin laman Wikipedianya sendiri.
Advocating Wikipedia sekaligus mendorong formalisasi bahasa itu dua posisi yang super kontradiktif: Wikipedia justru ngasih nuans buat bahasa yang hidup di masyarakat, persetan sama derajat mereka terhadap leksikon dan pemaknaan formal.
Ada dua level kemalasan kalau berhadapan sama pemuja Dawkins begini:
1. Kalau keluar dari kerangka predetermined genes, mental;
2. Kalaupun ngikut basis asumsi selfish gene, yang dianggap sebagai "mediasi kultural" atas genetic drive bisa beda total (ini yang lebih bikin mager)
Good satire. But it doesn't really happen naturally in real life, krn perempuan ga peduli tentang maternal certainty: sekalinya punya anak tahu kalo itu anaknya. Whereas men mengalami tekanan evolusioner utk peduli terhadap paternal certainty, or else their genes don't replicate.
By sheer dumb luck I got front-and-center seats this evening. Attending the talk felt like witnessing history unfold. A footnote of a footnote, obviously. But a month after 7 October and UK universities kept their mouths shut, LSE broke the silence. A flare was fired.
Thanks to everyone who made our public event, โExcept Palestine: Law, Humanity, and Politicsโ possible at
@LSEnews
tonight: speakers, organizers, volunteers, staff, audience members, and supporters of our freedom to discuss everythingโincluding Palestine.
@LSEHumanRights
Establishing a ๐งตon what I've read in 2022 (Doing this instead of the Goodreads reading challenge this year, which has mocked me in the face 6 years in a row):
Yang w nggak suka adalah sepuh aktivisme berlindung di balik enthusiasm younger generation to conceal their structural failings. Lo tuh beneran di-carry. Mawas diri dikit lah.
*percaya kepakaran, ngeri sama era Post-Truth, berharap adanya penguatan institusi*
Also the same set of people: diundang ngomongin dari gerakan sosial, good governance, asal-muasal banjir, peran anak muda, sampai dinamika politik UK pasca Brexit.
Just because something "rings hollow" doesn't mean it's not true. If we can agree with this, the next problem is: why would you berate someone for a genuine (if not unsophisticated) reflection of their personal position in the socio-economic hierarchy? Leave the guy alone, c'mon.
Talking about how capitalism is a problem because the system pushes you to watch concerts and eat good food will ring very hollow to the 80% of the population who are still vulnerable, in varying degrees, to monetary poverty.
Saya dan teman-teman bikin kuis (yang bisa dicoba!) untuk mencari tahu kecocokan kamu dengan program & gagasan kedua Paslon. Silakan diisi di :)
Bantu share juga yah!๐
Litmus test organisasi-organisasi (yang konon) progresif: kalau tetuanya mulai gelisah karena gak paham dengan cara kerja bawahannya, merasa teralienasi dan mulai kesulitan mempertahankan worldview, berarti udah saatnya blio cabut.
Banyak orang yang ikut aksi massa emang naif, kok, and that's okay: the point is to experience things firsthand, and I would trade almost anything to get even more people experiencing it.
Standarnya beda tapi kalau sama tetua gerakan dan elite masyarakat sipil. It's YOUR job.
When I was his age I was more insufferable than Rafilsafat; add another year or two, very possibly also infinitely more pretentious. We live, die, and set up shop by the learning curve, aight?
Seeing the responses to this tweet, I have a hunch that the politics of envy *among* young people will be a potent social fissure in the near future. Not that it hasn't been, but it's going to be stated in these exact terms.